2 September 2017

Karir Bukan Segalanya

Saya adalah seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah perusahaan multinasional. Mungkin Anda menganggap saya termasuk orang yang berhasil dalam karir. Namun sungguh, seandainya saya boleh memilih, maka saya tidak akan menjadi seperti ini dan menganggap apa yang telah saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh, hidup saya hancur berantakan karenanya. Suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan, karena memikirkan musibah ini. Putra saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih menjalani perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan. Dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh, apa lagi yang bisa saya harapkan?

Maya mengalami nasib tragis, karena dia terguncang dengan meninggalnya Bi Inah, pembantu kami. Ia pun terjerumus dalam pemakaian narkoba. Mungkin terdengar aneh, meninggalnya seorang pembantu bisa membawa dampak yang begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa Bi Inah sudah seperti keluarga bagi kami. Dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu, ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, Bi Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya, yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya Bi Inah. Berlembar-lembar buku hariannya berisi tentang hal itu.

Padahal ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu), Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya: "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit." Hanya itu saja.

Sungguh, hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Namun saya akui, ini semua karena kesalahan saya. Saya hanya menyediakan sedikit waktu untuk Doni, Maya, dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor. Otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan daripada keadaan mereka. Saya berangkat pukul 07:00 dan baru sampai di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai di rumah, rasanya sudah begitu lelah untuk memikirkan urusan mereka.

Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja. Ketika hari Senin tiba, saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA. Namun selalu saya menolak. Saya menganggap cara berpikir ibu terlalu kuno.

Memang, ibu saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami, 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi, karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Sedangkan karir dan penghasilan ayah hanya biasa-biasa saja ketika itu.

Jujur, saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan fokus mengurus Doni dan Maya. Namun selalu saja muncul perasaan, bagaimana kebutuhan bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja? Apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? Meski sebenaranya, suami saya cukup mapan dalam karir dan penghasilan.

Biasanya setelah dinasehati ibu, saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya. Namun tidak lebih dari dua minggu, semuanya kembali seperti asal, urusan kantor dan karir menjadi fokus saya. Kembali saya beranggapan masih bisa membagi waktu untuk mereka. Toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi. Itu semua di luar kendali saya. Semua berjalan begitu cepat, sebelum saya sempat tersadar.

Maya, anak yang semula begitu manis berubah menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! Sebuah sindiran dan protes dari Maya selalu terngiang di telinga hingga saat ini. Waktu itu Bi Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putra satu-satunya, setelah suaminya meninggal. Namun karena Maya dan Doni keberatan, maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.

Pengorbanan Bi Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi. Setelah tiba-tiba jatuh sakit selama kurang lebih dua minggu, Bi Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya, saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika Bi Inah berada di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar Bi Inah dibawa ke Singapura untuk berobat, setelah dokter di sini mengatakan bahwa kanker Bi Inah sudah masuk stadium 4. Usul Doni kami tolak, hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya mengetahuinya betapa berartinya Bi Inah buat mereka. Ia sudah seperti ibu kandungnya, yang menggantikan tempat saya. Seolah saya hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis!

Beberapa bulan yang lalu,kami sekeluarga ke desa Bi Inah. Atas desakan Maya, kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah, setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu, padahal biasanya ia paling susah diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya.

Di foto "keluarga" itu tampak Bi Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.

Setelah Bi Inah meninggal, Maya begitu terguncang dan shock. Kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan. Setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.

Di halaman buku harian Maya, penyesalan dan air mata tercurah. Maya menulis:

"Ya Tuhan, kenapa Bi Inah meninggalkan Maya. Terus siapa yang bangunin Maya? Siapa yang nyiapin sarapan Maya? Siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah? Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa? Siapa tempat Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah? Siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur? Ya Tuhan, Maya kangen banget sama Bi Inah".

Air mata saya menetes membaca goresan pena Maya. Bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan Bi Inah?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat, tidak mungkin bisa kembali. Seandainya semua bisa diputar ke belakang, saya rela berkorban apa saja untuk itu.

Kadang saya merenung, sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar, ini realitas dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh, saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapa pun, tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini, karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/terapi untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman, saya beranikan diri untuk menulis ini semua. Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya, saya berharap semoga ada yang memetik manfaatnya. Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanah-Nya pada saya.

Dan di setiap doa yang saya lantunkan, saya selalu memohon "Ya Tuhan, seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisi-Mu.

Sumber: http://terimakasihibu.blogspot.com/2011/03/kisah-nyata-dari-seorang-wanita-karir.html